Welcome :)

dinifahma.blogspot.com

Sabtu, 02 Mei 2015

Kisah: Cinta dan Keshalihan

Aku memperhatikan sosok berniqab yang tengah duduk di sebelah jendela kaca. Beliau wanita paruh baya yang memiliki 3 orang putri dan 1 orang putra. 
Aku hampir tidak pernah berbincang dengannya meskipun sempat beberapa kali bertegur sapa. Namun aku terus memperhatikan sosok ibu teduh itu.

Suatu pagi aku mendengar kisah -shahih- kehidupan beliau dahulu. Beliau lahir di salah satu desa kecil di Jawa Timur. Beliau lulus di pesantren dengan pembiayaan seorang pria yang begitu menyukai beliau. 
"Wah so sweet banget.." 
Tapi pria itu bukan orang yang menikahinya.
"Kanapa?"
"ya takdir"
Terkadang, seorang pria yang benar-benar menyukai -seseorang, dia rela mengorbankan apapun untuk kebaikan wanita tsb.
Dia (laki-laki tsb) tidak pernah rugi dengan apapun, sekalipun ia tidak mendapatkan cinta perempuan itu. InsyaAllah janji unta merah tetap berlaku kan? apalagi dia memberikan pembiayaan untuk ilmu syar'i.

Ya, wanita yang ku ceritakan di atas adalah wanita yang kini berhijab sempurna dengan putra-putri yang sholih sholihah, insyaAllah..

Aku teringat tulisan di status nasihat di facebook berikut ini..  

 

|Cinta dan keshalihan, dua hal yang saling mengikat dan tidak akan pernah saling menjatuhkan|

“Bang, ada teman saya bertanya soalan rasa. Sejatinya dia cenderung kepada seorang muslimah yang dikenal shalihat. Qadarullah, sang muslimah terikat takdir dengan lelaki lain hingga kecenderungannya menjadi hal yang terlarang. Namun masalahnya sampai saat ini dia tidak bisa mencabut rasa itu. Kecenderungan itu tetap ada walau dia sudah ikhlas dengan keputusan takdir. Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kecenderungan itu?”

Sebelum kita berbicara soal kecenderungan yang terlarang karena takdir, mari kita runut beberapa sejarah kecenderungan yang muncul namun tidak terikat kepada takdir. Kecenderungan kepada pertama sekali ada pada Qabil anak nabiyullah Adam yang merasa seharusnya dia menikahi saudara kandungnya sendiri Iqlima. Namun jodohnya tertolak hingga membunuh saudara kandungnya sendiri Habil. Inilah kisah tragis kecenderungan kepada lawan jenis pertama sekali di dunia. Kecenderungan yang tidak berlandaskan iman di dada akhirnya berakhir kepada kecelakaan.

Namun bila kita bicara kepada kecenderungan yang berlandaskan keimanan, maka kisah ini akan berbeda sama sekali. Ada beberapa kisah yang akan kita contohkan. Pertama sekali kisah Salman Al Farisi dengan Abu Darda. Kisah ini tentunya menjadi tolak ukur kisah kecenderungan yang tertolak takdir namun berada dalam koridor keimanan. Kita akan menjumpai bahkan atas nama ukhuwah, mahar yang sejatinya ingin diberikan kepada sang gadis malah di wakafkan kepada sang shahabat demi kebahagiaan keduanya.

Ada kisah lain yang mungkin jarang kita ketahui. Yakni terkisah shahabat Rasulullah yang di jamin syurga, Thalhah bin Ubaidillah memiliki kecenderungan kepada Aisyah Radhi Allahu Anha. Namun takdir menuliskan ketetapan lain. Sang Ummul Mukminin ini dimuliakan oleh Allah dengan dijodohkan untuk Rasulullah. Kenyataannya rasa itu masih terikat dengan baik. Perasaan tersebut masih disimpan hingga kemudian turunlah perintah larangan menikahi istri nabi sepeninggal beliau yang terabadikan dalam surah Al- Ahzaab ayat 53.

Sungguhlah firman Allah berada jauh diatas kecenderungan hati. Maka Thalhah pun mengurungkan niatnya dan akhirnya menikahi adik dari Aisyah Radhi Allahu Anha. Kelak, anak dari Thalhah yang bernama sama dengan Aisyah, yakni Aisyah binti Thalhah, di asuh dan dibesarkan oleh Ummul mukminin Aisyah, sang kekasih Rasulullah yang walaupun kecenderungannya tertolak dengan takdir namun tetap di lindungi keselamatannya oleh Thalhah bin Ubaidillah hingga titik darah penghabisan di perang Jamal.

Belum lagi kisah Khalifah Umar bin Abdul Azis. Yang demi kasih sayang kepada istrinya, merelakan gadis yang dicintainya seumur hidup untuk menikah dengan pemuda yang lain. Perkataan yang begitu indah terekam oleh sejarah adalah ketika sang gadis pujaan hati tersebut bertanya kepada khalifah:

“Dulu engkau berniat menikahiku dengan begitu besarnya. Namun ketika saat ini aku ditawarkan oleh istrimu kepadamu, engkau malah menginginkan aku menikahi yang lain. Apakah sudah berkurang cintamu kepadaku wahai khalifah?”
Sang khalifah menjawab dengan beruraikan airmata: “Bahkan cinta saat ini lebih besar dari dahulu kala.”

Cukuplah tiga kisah ini menjadi catatan kita bagaimana keimanan dan keshalihan mampu menghadirkan sisi manis dramatis penuh keindahan dari kisah cinta tidak sampai. Belajar dari para shahabat dan tabi-tabi-in, seharusnya kita sadar, cinta yang tidak terikat takdir bukanlah satu momok yang tidak akan berakhir dengan indah. Karena seharusnya semua kisah cinta berakhir happy ending.

Sejatinya cinta sendiri adalah sebentuk energi bagi kehidupan kita. Maka pada cinta berlaku hukum yang sepadan dengan hukum energy.Hukum energi berbunyi: energi tidak dapat di hilangkan. Namun dapat berubah-ubah bentuknya. Maka cinta juga sejatinya tidak dapat di hilangkan, namun dapat diubah menjadi bentuk yang lain.

Selayak kisah Thalhah yang mengubah rasa cenderungnya kepada Aisyah dengan menikahi adiknya Aisyah demi mendapatkan kedudukan yang mulia dari keturunan Abu Bakar. Kelak, anaknya pun tetap memiliki seorang bibi yang mengajarinya langsung dari rasulullah. Walaupun sang anak tidak lahir dari Rahim Aisyah, namun ilmu dan pemeliharaannya sejak kecil hampir serupa dengan anak Aisyah. Bahkan dalam satu atsar dikatakan, Aisyah binti Thalhah mewariskan kecantikan serta keberanian serta keilmuwan Ummul Mukminin Aisyah.

Maka bila ada seorang ikhwan yang memiliki kecenderungan yang tertolak takdir, seharusnya rasa itu bukan dihapus. Namun alihkanlah kepada yang lain. Khitbah dan lamarkanlah muslimah yang lain, yang menurut kita memiliki kemuliaan selayak yang kita cenderungi dulunya. Ini lebih menenangkan daripada berusaha membunuh rasa yang telah Allah tetapkan ada dihati kita. Berusaha tidak jatuh cinta lagi, bahkan merasa cinta atau kecenderungan adalah sesuatu yang menyakitkan hati dan jiwa. Sungguh bila itu yang kita pilih, maka kita sedang memilih jalan cinta yang seharusnya berakhir happy ending menjadi sad ending. Wallahu a'lam..

via ustad Rahmat Idris
 ***

yang baik belum tentu terbaik untuk kita, 
yang terbaik pasti baik untuk kita, insyaAllah..

jadi inget status facebooknya salah seorang ukhti.. "Laki-laki baik itu banyak, namun yang terbaik itu satu. yang lainnya jadi cobaan untuk kita." kurang lebih seperti itu,

ya bisa jadi dia memang sangaaaat buuaaaiik (read: sangat baik). Tapi kalau ternyata bukan yang terbaik untuk kita, ya sebisa mungkin untuk mengikhlaskan. *eh

***
ini lagi nyomot dari web, bagaimana menggambarkan yang "baiiik sekalipun, belum tentu menjadi yang terbaik"

Disebutkan seorang muslimah di zaman Nabi yang bernama Ummu Aban binti ‘Utbah bin Rabi’ah bin ‘Abdu Syams.
Lelaki pertama yang melamarnya adalah ‘Umar bin Khaththab, sosok khalifah kebanggaan kaum muslimin setelah Abu Bakar ash-Shiddiq yang juga menjadi mertua Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Jika kita berpikir bahwa tak ada satu pun alasan untuk menolak lelaki yang ditakuti oleh setan ini, faktanya tidaklah demikian. ‘Umar ditolak dengan alasan, “Jika pulang ke rumah, ia memikirkan masalah. Dan, jika keluar dari rumah, ia juga memikirkan masalah.”
Hal itu terjadi lantaran ‘Umar amat memikirkan akhirat sehingga melupakan dunia. Dia hidup di dunia, tetapi seperti melihat Rabb semesta alam dan mencium bau surga.

Maka pelamar yang kedua adalah Zubair bin Awwam sang pemuka Quraisy yang memiliki karunia harta. Namun, lamaran sahabat Nabi ini pun ditolak dengan alasan, “Istrinya hanya akan mendapatkan pakaian yang bagus dan sanggul darinya.”

Dan, ‘Ali bin Abi Thalib pun mengambil giliran sebagai pelamar ketiga yang bernasib serupa. Alasannya, “Istrinya hanya akan terpenuhi sesuai kebutuhannya saja, dan ia akan mengatakan begini dan begitu (menyampaikan alasan/pendapat agar istrinya tidak menyampaikan selain apa yang dibutuhkan).”

Setelah tiga lamaran yang berujung penolakan sebab alasan sifat dan kecocokan yang dilamar dengan sosok pelamar, maka datanglah lelaki surga keempat yang sampaikan lamaran. Qadarullah, lelaki inilah yang diterima lamarannya.

Sebab, “Aku telah mengenal akhlaknya; jika masuk rumah, ia akan memasukinya dengan tertawa, dan jika keluar rumah, ia akan keluar dengan tersenyum. Jika aku meminta sesuatu, ia akan memberikannya; jika aku diam, dia akan memulai pembicaraan; jika aku melakukan sesuatu, ia akan berterima kasih; jika aku berbuat salah, ia akan memaafkannya.”
                    
Penolakan tiga sahabat Nabi dalam kisah ini bukan disebabkan keshalehan atau kualitas kepribadiannya. Mereka tidak diterima hanya karena kecenderungan sosok yang dilamar, sebab jiwa memiliki kekhasannya masing-masing.
Kemudian, siapakah sahabat yang diterima lamarannya? Ia adalah Thalhah bin ‘Ubaidillah
(via web)
 ***

Lalu, siapa yang menyangsikan keshalihan 3 pelamar yang qodarullah ditolak? Bukankah mereka laki-laki baiiik. Jawabannya sederhana sebenarnya, mereka bukan yang terbaik untuk Ummu Aban. Wallohu'alam

Terkadang kita berekspektasi tinggi mengharapkan sekelas 'syeiikh'. Tapi kita lupa, hal itukah yang terbaik untuk kita?

Ummu Aban tidak silau dengan 'ketegasan Umar', 'kekayaan Zubair', 'Kezuhudan Ali'
Namun, beliau sederhana -yang cocok dan terbaik untukku siapa?

Begitu pula kisah yang kutemui dari seorang ibu yang di masa mudanya bertemu dengan pria yang sangat baik membiayainya ke pesantren. Beliau tidak berpikir 'harusnya aku bersamanya,’ dsb

Begitu banyak cinta yang tak berujung pada pernikahan. Namun, cinta dan keshalihan masih bisa beriringan bukan..? aku rasa tidak ada alasan 'aku menyesal begini dan begitu'. Karena semua sudah ada dalam suratan takdirnya.. 
Harus ikhlas. Diri ini juga harus lebih belajar :)
                                          
Sekian tulisanku kali ini.. 
Semoga bermanfaat..



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar