Welcome :)

dinifahma.blogspot.com

Selasa, 14 Agustus 2012

Kisah Part II

        Bapak adalah petani yang bisa dibilang sukses. Rumah kami dipenuhi gabah1) ketika musim panen tiba. Namun tidak jarang keluarga kami menderita kerugian ketika gagal panen. Meskipun demikian, bapak selalu mengajarkan rasa syukur dan nerimo2) apapun keadaan kami.
Kami hidup sederhana di rumah tua yang cukup luas. Rumah ini adalah rumah joglo milik nenekku. Kami tinggal disini karena ibuku adalah anak terakhir. Ibuku merasa punya tanggung jawab untuk mengurus rumah ini, karena pakde dan bude sudah tinggal di rumah mereka masing-masing.
Kami hidup dalam keluarga kecil yang bahagia. Aku selalu ingin membahagiakan orang tuaku, aku tak ingin mengecewakan mereka…
***
        Pagi ini kami sedang bersiap di dapur. Aku dan Ibuk sedang memasak untuk bekal di sawah. Bapak sibuk menyiapkan peralatan sawah. Tampaknya hari ini adalah hari yang cukup sibuk. Keluargaku akan memanen tanaman ‘pedesan’ atau orang biasa menyebutnya cabai. Ya… liburan semester gasal aku manfaatkan untuk membantu ibuk Bapak di kampung.
     Pekerjaan tetap Bapak dan Ibuk adalah seorang petani. Tak heran bila keuangan keluarga kami hanya disokong dari hasil panen di sawah. Aku berharap, tahun ini hasil panen melimpah dan banyak memberi kebarokahan.
         “Hasim mana buk?” tanyaku kepada ibuk yang sedang sibuk menata rantang di meja.
         “Anak itu wes dolan3) nduk4)…”   
      Hasim adalah adik laki-lakiku yang sekarang masih duduk di Sekolah menengah Pertama. Jarak umurku dan dia hanya empat tahun. 
        “Kalau sudah selesai, ayo berangkat. Mumpung belum terlalu siang” kata Bapak seraya mengeluarkan dua sepeda tua milik kami. 
   Bapak yang membawa cukup banyak peralatan sawah, memakai sepeda unto kesayangannya. Sedangkan Aku dibonceng sepeda jengki oleh ibuk dengan membawa bekal makan siang. Kami mulai berangkat dengan kayuhan sepeda yang terdengar kreot-kreot disana-sini.
      Aku memperhatikan Bapak yang mengayuh sepeda di depan. Punggungnya nampak lebar dan keras. Terlihat beban yang dimilikinya sangat besar selama ini. Bapak adalah sosok penyabar, ulet, tekun dan pekerja keras. Beliau memiliki postur tubuh yang proporsional, tidak terlalu tinggi namun tidak terlalu pendek. Badannya cukup kekar karena sudah terbiasa mencangkul dan mengangkat berkilo-kilo hasil panen sawah. Kulitnya sedikit gelap karena terbakar panasnya matahari. 
    Ibuk adalah wanita muda yang ramah. Beliau memiliki wajah yang teduh. Namun kadangkala wajahnya sangat garang ketika marah. Hihi… Ibuk dikenal baik oleh tetangga karena kepribadiannya yang santun dan sumeh5). Ibuk menikah pada usia yang sangat belia yakni 13 tahun. Bapak dan Ibuk memiliki selisih umur 12 tahun. Jadi ketika menikah, Bapak berusia 25 tahun. Ibuk memiliki anak pertama; yakni aku pada usia 15 tahun. Kata mbah putri, ketika aku masih bayi, ibuk tidak berani menggendongku. Aku tidak membayangkan kalau menikah semuda itu, mungkin aku juga tidak berani menggendong bayi. Aku terkekeh dalam hati sembil mengimajinasikan kerepotan ibuk saat aku bayi.
      Suasana semilir mulai terasa. Hijaunya sawah menyegarkan mata dengan angin segar menerpa tiap sudut dedaunan yang ada. Kami berhenti di tepi salah satu petak sawah yang dipenuhi hijaunya daun dan ranumnya cabai.
      Aku menghirup napas panjang. Pertarungan akan segera dimulai. Pertarungan melawan teriknya matahari yang akan segera meninggi dan pertarungan mengumpulkan pundi-pundi cabai yang telah siap di panen. Kerudung yang ada di kepalaku sudah dilindungi dengan capil6).
       Kami melewati sungai kecil yang berfungsi sebagai peraiaran di sawah. Sungai ini hanya selebar setengah meter dengan aliran air yang cukup bening. Kemudian kami menjangkau galengan; sebutan orang desa pada tepian sawah yang dilalui dengan jalan setapak. 
      Selama liburan, pekerjaan sampinganku adalah buruh tani. Ya mungkin bagi sebagian orang, pekerjaan yang tidak dapat dibanggakan dan sangat memalukan. Tapi, inilah hidupku. Tak perlu ditutup-tutupi.
     Pernah suatu ketika, teman-temanku menanyakan ada apa dengan wajahku. Haha.. Mungkin wajahku tampak lebih dekil dari biasanya. Dengan PDnya aku menjawab, ini efek matahari yang terlalu menyengat. 
     Sedikitpun aku tidak pernah malu dengan keadaanku. Meskipun orang tuaku hanya seorang petani, aku tidak merasa risih ataupun minder dengan kondisi ini. Ya kadang terbesit iri pada kawan-kawanku yang berduit. Setiap bulan mereka membeli baju, sepatu, tas dengan merk ternama. Kalau aku boro-boro beli baju bermerk, beli baju setahun sekali saja sudah untung.
       Aku sadar diri dan tidak ingin berlaku boros seperti kebanyakan kawan-kawanku. Ibuk pernah berujar "Ya kalau tiap bulan tuku7) klambi8), ya siap-siap aja bapak jual sawah" Ibuk tertawa menyeringai. Bapak hanya tersenyum kalem. 
       Benar juga, untuk menyekolahkanku saja orang tuaku mati-matian. Tidak wajar kalau aku berfoya-foya diluar sana. Meskipun ada beasiswa, namun tak mungkin aku menyelewengkan duit itu untuk penampilan semata.
       "yang penting prestasinya to nduk... Nggak usah minder. Punya kesempatan kuliah itu juga sudah kebanggaan. Nggak usah ngikutin penampilan dan gaya hidup orang kota, lha wong memang orang desa kok" Bapak menasehati dengan senyum yang senantiasa teduh. 
        "inggih Pak.." aku mendengar nasehat Bapak ibuk dengan penuh takjim. 
***

1) gabah : Padi yang belum dikuliti
2) nerimo : menerima dengan ikhlas
3) wes dolan : sudah main
4) nduk : panggilan untuk anak perempuan
5) sumeh : murah senyum
6) capil : topi lebar petani
7) tuku : beli
8) klambi : baju


*) Karena kisah ini sangat panjang, mungkin mending saya bukukan :D
Untuk post selanjutnya, Insya Alloh saya akan kembali menulis non fiksi lagi :) 


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar